SELAMAT DATANG DI BLOG ALUMNI PONPES MIFTAHUTTHOLIBIN
Photobucket

Kajian Ramadhan 2

Monday, August 23, 2010

MARHABAN YA RAMADHAN
Oleh Drs. Ahmad Yani
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang- orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa (QS 2:183) Beberapa minggu lagi kita akan kedatangan bulan Ramadhan 1425 H. Sebagai muslim, sudah seharusnya kalau kedatangan Ramadhan tahun ini kembali kita sambut dengan penuh kegembiraan karena insya Allah, kesempatan menikmati ibadah Ramadhan kembali kita peroleh. Target utama dari ibadah Ramadhan sebagaimana yang disebutkan pada ayat adalah semakin mantapnya ketaqwaan kepada Allah Swt. Sebagai wujud dari rasa gembira itulah, Ramadhan tahun ini tidak boleh kita lewatkan begitu saja tanpa aktivitas yang dapat meningkatkan ketaqwaan diri, keluarga dan masyarakat kita kepada Allah Swt. Maka, persiapan-persiapan kearah itu sudah harus kita lakukan, baik secara pribadi maupun bersama-sama. Ramadhan yang penuh berkah harus kita jadikan sebagai momentum untuk menyelamatkan masyarakat dengan melakukan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), baik dengan taubat, munajat dan menjalankan sejumlah peribadatan maupun dengan khidmat yakni memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat agar kehidupan kita betul-betul dapat dirasakan manfaatnya bagi orang lain dan perbaikan masyarakat dapat kita wujudkan dari waktu ke waktu, baik perbaikan diri, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara.
KLASIFIKASI PROGRAM Sekurang-kurangnya, ada tiga klasifikasi program yang harus kita persiapkan. Pertama, tarhib atau menyambut Ramadhan dengan mengkondisikan diri, keluarga dan masyarakat untuk menyambut dan mengisi Ramadhan yang mubarok dengan berbagai aktivitas yang dapat memantapkan ketaqwaan. Secara pribadi ada beberapa hal yang harus dilakukan, Pertama, menjaga kondisi fisik agar tetap sehat sehingga ibadah Ramadhan seperti puasa, tarawih, tilawah dll dapat kita laksanakan dengan baik, karena bila sakit amat sulit bagi kita untuk melaksanakan berbagai aktivitas Ramadhan yang memang amat menuntut kesiapan fisik. Kedua, mengingat atau mengkaji kembali fiqih yang berkaitan dengan ibadah Ramadhan sehingga pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik karena didasari pada pemahaman yang baik. Ketiga, segera membayar atau mengqadha puasa yang dengan sebab-sebab tertentu tidak bisa kita laksanakan pada Ramadhan tahun lalu. Keempat, mengkondisikan diri dengan menunaikan ibadah-ibadah yang sunat seperti puasa bulan Sya’ban, tadarus Al-Qur’an dan sebagainya. Kelima, saling maaf memaafkan dengan sesama kaum muslimin sehingga dalam memasuki Ramadhan, dosa kita dengan sesama manusia sudah kita hapus sehingga pada bulan Ramadhan hanya menyelesaikan dosa kepada Allah Swt, sehingga ketika Ramadhan berakhir dan tiba hari raya Idul Fitri, kita benar-benar berada dalam keadaan fitrah atau suci. Setelah mempersiapkan pribadi, mempersiapakan keluarga dan masyarakat untuk menunaikan aktivitas dan ibadah Ramadhan juga harus kita lakukan. Diantara aktivitas yang bisa kita lakukan untuk mengkondisikan masyarakat untuk menyambut Ramadhan antara lain; pemasangan spanduk dan stiker penyambutan Ramadhan dengan slogan-slogan yang menumbuhkan semangat beribadah Ramadhan dengan segala aktivitasnya, menyelenggarakan tabligh akbar, membentuk panitia kegiatan Ramadhan di masjid, mushalla dan kerohanian Islam baik di kantor, kampus maupun sekolah dan klub-klub seperti olah raga, kesenian dll dengan mencanangkan sejumlah program dan sebagainya. Persiapan menyambut Ramadhan juga harus dilakukan oleh para pengelola media massa, baik cetak maupun elektronik dengan menyiapkan acara dan rubrik Ramadhan yang berkualitas. Tegasnya semua pihak dari kaum muslimin harus mempersiapkan diri menyambut kedatangan Ramadhan tahun ini dengan perencanaan yang matang, untuk itu mutlak keharusan pembentukan panitia kegiatan Ramadhan agar aktivitas Ramadhan bisa dilaksanakan dengan baik. Kedua, ihya atau menghidupkan Ramadhan dengan berbagai aktivitas yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, seperti puasa, shalat tarawih dan witir, berdo’a, tilawah, tasmi’ (memperdengarkan) dan tadabbur Al-Qur’an, khataman Al-Qur’an, I’tikaf sepuluh hari terakhir dan sebagainya. Disamping itu aktivitas Ramadhan juga harus dapat memperkokoh hubungan dengan sesama, seperti zakat, infaq dan shadaqah, ifthor (buka puasa) bersama, bazar Ramadhan dan sebagainya. Yang juga amat penting adalah adanya upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas aktivitas da’wah, misalnya dengan penyelenggaraan ceramah tarawih yang harus ditentukan topik-topiknya agar tidak tumpang tindih atau pengulangan yang terlalu berlebihan, dalam kaitan ini juga harus menetapkan pembicara atau penceramah yang tepat, begitu juga dengan kualiah subuh dan ceramah zuhur di kantor-kantor. Pelatihan-pelatihan dalam rangka itu juga perlu diselenggarakan, misalnya pelatihan khatib dan muballigh, pengelolaan perpustakaan masjid, manajemen masjid, mengurus jenazah, pengelolaan zakat, pengelolaan baitul maal wat tamwil (BMT) dan sebagainya yang kesemua itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemakmuran masjid dan sebagainya. Ketiga, ba’da Ramadhan, yakni menindaklanjuti aktivitas Ramadhan sehingga Ramadhan tidak berakhir begitu saja tanpa sesuatu yang berarti. Aktivitas ba’da Ramadhan yang dimaksudkan untuk memberikan bekas yang dalam antara lain menyelenggarakan takbiran sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw, bukan takbiran yang hura-hura dan mengandung nilai kemaksiatan, melaksanakan shalat Idul Fitri yang berlangsung secara khusyu, menyerukan atau mengingatkan kaum muslimin akan nilai-nilai Ramadhan yang harus kita tindak lanjuti, memperkokoh silaturrahmi antar keluarga dan masyarakat muslim agar tumbuh dan dapat direalisasikan semangat kebersamaan dalam menjalankan ajaran Islam, melaksanakan puasa sunat bulan Syawal dan memulai kembali aktivitas keislaman yang dialihkan sementara kepada kegiatan Ramadhan.Manakala sejak dini, aktivitas Ramadhan telah kita rencanakan dengan matang dan kita laksanakan pada waktunya dengan baik, niscaya banyak manfaat yang kita peroleh dalam upaya menyelamatkan diri, keluarga dan masyarakat dari sejumlah krisis yang selalu menghantui.

» Baca Selengkapnya....

Kajian Ramadhan 1

Ahlan Wa Sahlan Ya Ramadhan Oleh Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA
“Dan sesungguhnya al-Qur'an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab” (QS Az-Zukhruf: 44). Ketika Allah Swt.. menjadikan Islam sebagai rahmat buat alam semesta; ketika Allah Swt. menghendaki dari umat Islam menjadi umat terbaik; ketika Allah Swt. menghendaki agar umat Islam mampu memikul amanah untuk memimpin dunia ini; ketika Allah menghendaki agar umat Islam menjadi saksi bagi seluruh umat manusia, maka ketika itulah Allah Swt. mempersiapkan umat Islam sedemikian rupa, agar umat Islam ini layak menjadi umat yang terbaik. Di antara sarananya adalah dengan pembentukan manusia yang bertaqwa. Pembentukan manusia yang bertaqwa inilah yang banyak dilupakan manusia, sehingga ukuran kemajuan atau ukuran kesejahteraan hidup diukur dengan paradigma materi. Lupa bahwa manusia itu bukan hanya dari unsur materi saja, tetapi manusia punya nurani yang harus diperhatikan, yang harus dibina sehingga pantas untuk menjadi manusia yang terbaik. Oleh karena itu Ramadhan hadir di tengah-tengah kita dalam rangka untuk menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik yang layak memimpin dunia ini. Di dalam bulan Ramadhan banyak sekali kebajikan ilahi yang harus kita dapatkan, sehingga kita keluar dari bulan Ramadhan ini benar-benar menjadi manusia terbaik, manusia yang berkualitas, manusia yang berprestasi. Oleh karena itu marilah kita berupaya benar-beanr memahami puasa itu sebagaimana yang diharapkan Allah Swt.
Pertama , puasa membentuk manusia yang mengoptimalkan kontrol diri (self control). Mengapa? Karena puasa sangat terkait dengan keimanan seseorang. Seseorang bisa saja mengatakan dirinya sedang berpuasa, sekalipun sebenarnya tidak. Oleh karena itu puasa disebut ‘ibaadah sirriyyah (ibadah yang bersifat rahasia). Rahasia antara seorang hamba dengan Al-Kholiq. Sampai-sampai Allah Swt. mengatakan dalam sebuah hadits Qudsi yang sering kita dengar “Kulluu ‘amali ibnu aadama lahu illash-shiyaam. Fa innahu lii wa ana ajzii bihi (setiap amal manusia untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk aku. Dan akulah yang membalasnya)”. Pertanyaannya adalah apakah amal selain puasa tidak dibalas Allah? Dibalas. Tetapi kenapa dalam masalah puasa Allah menegaskan bahwa Dia yang akan membalasnya sehingga seolah-olah amal yang lain itu bukan Allah yang Membalasnya? Ini merupakan isyarat Rabbaniyah bahwa amal manusia yang bernama ash-shiyam benar-benar insya Allah akan dijamin diterima oleh Allah Swt. Apakah yang lain tidak dijamin? Ini karena puasa itu adalah ibadah sirriiyyah, dimana orang tidak mengetahui dan tidak melihat ketika dia berpuasa. karean ketika kita berpuasa, tidak ada orang lain yang tahu. Maka ibadah yang sirriyyah itu adaah sangat dekat dengan keikhlasan. Dan syarat agar suatu amal itu diterima oleh Allah, selain harus benar sesuai dengan ajaaran Rasulullah Saw., harus ikhlas. Makanya kalau ingin menjadi orang yang populer, tidak bisa melewati pintu puasa. Kalau terkenal sebagai seorang mubaligh, bisa. Terkenal menjadi qori’ dan qori’ah, bisa. Terkenal menjadi politikus, bisa. Dan itu semuanya sangat rawan dengan riya’, dan riya’ Itu menjadikan amal tidak diterima oleh Allah Swt. Itulah sebabnya mengapa dalam kaitannya dengan puasa ini Allah menegaskan bahwa Dia sendiri yang akan membalasnya. Inilah yang dikatakan bahwa puasa akan melatih kita untuk mempunyai tingkat kontrol yang tinggi, baik ketika kita menjadi seorang pemimpin, atau karyawan, ulama’ atau yang lainnya. Kita tidak merasa dikontrol oleh yang lainnya, akan tetapi yang terpentinga dalah bahwa kita sadar bahwa kita dikontrol oleh Allah Swt. Kedua , lembaga shiyam ini mendorong kita agar obsesi kita tentang kehidupan akherat itu lebih dominan daripada obsesi dunia. Jadi obsesi ukhrowi kita, agar kita menjadi hamba Allah yang akan mendapatkan kenikmatan abadi, itu harus lebih dominan daripada kesenangan yang sifatnya sementara. Karena seluruh kenikmatan yang ada di dunia ini, nikmat apa pun namanya, harta, pangkat, dan sebagainya itu semuanya bersifat sementara. Makanya dalam bahasa Al-Qur’an kenikmatan dunia itu tidak disebut nikmat, akan tetapi disebut mata’. Mata’ itu arti adalah maa yatamatta’u bihil insan tsumma yazulu qoliilan-qoliilan (mata’ adalah Sesuatu yang disukai oleh manusia, akan tetapi sedikit demi sedikit akan hilang)”. Kalau kita ditakdirkan Allah mempunyai istri yang sangat cantik, ketika sudah berusai 60 tahun, maka kecantikannya pasti akan luntur, sehingga mungkin kita berpikir mencari yang masih muda lagi. Kenapa? karena kenikmatan dunia itu pasti ada batasnya. Ini adalah halyang manusiawi. Puasa itu melatih kita agar obsesi yang ada dalam diri kita itu obsesi yang tentang kehidupan yang abadi di akhirat. Makanya makanan, minuman, istri, dan semua yang halal itu kita gapai dalam rangka untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi. Di negara kita yang sedang terkena krisis multi dimensional ini dan dipenuhi dengan kerusuhan, disebabkan karena banyak manusia di negara ini ytang obsesinya bukan obsesi ukhrowi. Ada orang yang ingin menjatuhkan orang lain, ada orang yang khawatir kalau-kalau dijatuhkan. Kalau obsesi duniawi ini dominan, bisa-bisa kita akan kehilangan kehidupan ukhrowi kita. Ketika kita memasuki bilan Ramadhan, maka kita akan ditarbiyah oleh Allah agar obsesi kit aadalah obsesi ukhrowi. Namun ini bukan berarti kehidupan duniawi dilarang. Akan tetapi duniawi itu bukan yang dominan dalam kehidupan kita. Makanya kita diajarkan untuk berdo’a “Walaa taj’al mushiibatana fiidiinina, walaa taj’aliddun-yaa akbaro hammina (jangan jadikan dunia sebagai obsesi terbesar dalam kehidupan kami), walaa mablagho ‘ilmina, walaa ilannaari mashiirona. Do’a ini sering dibaca, akan tetapi dalam perbuatannya warnanya lain. Ketiga , dari lembaga shiyam ini akan melahirkan manusia-manusia yang benar-benanr mempunyai al-hasasiyyah al-ijtima’iyyah (mempunyai kepekaan sosial yang tinggi). Dari mana bisa kita ketahui? Ketika kita berpuasa sunnah, baik Senin-Kamis atau puasa ayyamul bidh, kita merasakan berpuasa sendirian. Dibandingkan dengan puasa di bulan Ramadhan, puasa sunnah ini perasaan kita lebih berat, karena dilaksanakan sendirian. Ini yang harus kita perhatikan, sekarang ini bangsa kita (sebagian besar) sudah kehilangan kepekaan sosial. Kalau ada tindak kejahatan di tempat keramaian, sangat langka kita temukan orang yang peduli dengan membantu melawan penjahat. Kalau ada wanita yang sangat cantik lewat dan hampir semua mata melihat, apakah ada orang yang memprotes hal itu? Padahal, bukankah wanita itu isterinya orang yang haram untuk dipelototi? Bahkan perbuatan seperti ini kadangkala diberikan pembenaran dengan dalih ‘mubadzir’ kalau tidak dilihat. Ini menunjukkan rendahnya sensitifitas keimanan (hasasiyah imaniyah). Yang ada adalah kerawanan dalam kehidupan sosial, karena kemaksiatan sudah melembaga dan orang diam saja ketika melihatnya. Padahal di masa Rasulullah SAW, orang tidak akan tinggal diam ketika melihta suatu kemungkaran. Bahkan ketika jauh setelah kehidupan Rasulullah, baik di jaman tabi’in maupun tabi’it tabi’in, tetapi mereka masih komitmen dengan ajaran Allah, maka sensitifitas sosial itu sangat tinggi. Misalnya, di jaman dahulu kalau kita shalat jama’ah di masjid, kemudian kita melihat ada tetangga atau saudara kita tidak datang, maka setelah selesai shalat, semua jama’ah langsung mendatangi orang yang tidak shalat berjama’ah tadi untuk menziarahinya, seolah-olah orang yang tidak shalat jama’ah itu adalh orang yang mati sehingga perlu dita’ziyahi. Kalau seandainya kita tidak shalat jama’ah dan kemudia kita dita’ziyahi, maka kita akan termotivasi untuk selalu shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah adalah ibadah yang sangat terkait dengan sensitifitas sosial. Ironisnya di negara ini ketika ada orang diganggu, dicopet, atau digoda, yang lainnya diam saja, dan bisikan yang ada dalam dirinya adalah ‘yang penting saya selamat’. Orang seperti ini adalah orang yang mati dalam kehidupannya, karena bahasa masing-masing itu bahasa akhirat, bahasa ketika kiamat tiba, sehingga orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Suami lari dari istri dan anaknya, anak lari dari orang tuanya. Allah berfirman: “Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkalala yang kedua). Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya” (QS ‘Abasa: 33-37). Jadi kehidupan masing-masing itu adalah kehidupan akherat. Akan tetapi sekarang ini sudah ada di dunia., Berarti seolah-olah sebagian masyarakat sudah merindukan kematian, padahal masih hidup. Makanya banyak kebajikan yang tidak jalan, keadilan tidak tegak. Dalam kondisi demikian, puasa hadir di tengah-tengah kita untuk memperlihatkan bagaimana Islam itu benar-benar mempunyai kepedulian terhadap kehiduapan bermasyarakat. Pada masa Rasulullah Saw., ada juga kemaksiatan. Ada juga shahabat yang berbuat maksiat, karena mereka bukan malaikat. Sekalipunsebaik-baik generasi adalah genarasi Rasulullah Saw., akan tetapi ada saja yang berbuat maksiat. Ada yang pernah mencuri, ada yang pernah berbuat zina dan yang lainnya. Akan tetapi kriminalitas itu masih sangat kecil sekali, sehingga jarang ditemui. Itu pun bersifat pribadi dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ironisnya, sekarang maksiat itu dilakukan ramai-ramai dan secara terang-terangan tanpa malu-malu. Sehingga yang benar itu tertutup, keamanan tidak nampak. Yang nampak adalah sesuatu yang menakutkan. Bahkan kadang-kadang sampai di tempat yang suci seperti masjid, kadang-kadang orang tidak bisa khusyu’ shalatnya karena takut sepatu atau sandalnya hilang. Kalau di masjid saja orang masih tidak khusyu’ beribadah karena khawatir menjadi korban kejahatan, bagaimana di tempat yang lain? Ini semua karena bayak orang yang telah kehilangan kepedulian sosialnya. Inilah bedanya antara jaman kita dengan jaman Rasulullah Saw. Bahkan di masa Rasulullah Saw., ketika ada seorang berbuat zina dan kemudian dia hamil, dia sendiri kemudian bertaubat dan malah dia sendirilah yang melakukan perbuatannya itu kepada Rasulullah Saw., karena ketika dia berzina, itu terjadi karena kelemahamn iamnnya. Dalam hadits dijelaskan “Laa yadri azzani ila yazni wahuwa mu’min (tidaklah seseorang berani berbuat zina ketika zina, sementara dia dalam keadaan beriman)”. Ketika seorang perempuan tadi berzina, dan setelah itu ia sadar bahwa ia telah berbuat dosa, langsung dia datang kepada Rasulullah Saw. minta agar dia dihukum sesuai dengan ajaran Islam. mari kita merenung. Memang benar bahwa pada masa Raulullah pun ada orang yang berbuat salah. Akan tetapi ketika ada diantara mereka yang berbuat salah, dia langsung mengaku dan minta dihukum, padahal oranmg lain tidak tahu. Sekarang bagaimana kondisinya? Jadi kalau kita bersalah, hendaklah kita datang untuk minta dihukum. Kenapa? Karena seorang mukmin yang benar-benar beriman, benar-benar yakin bahwa siksa akhirat itu lebih pedih. Dengan demikian, benar-benar akan efisien tenaga itu. Kalau seandainya semua orang sama dengan wanita yang bertaubat ini, maka aparat hukum tidak perlu capai-capai. Ash-shiyam secara bahasa artinya adalah al-habsu (menahan diri), menahan diri dari seluruh bentuk kemaksiatan. Kalau setiap kita menahan diri, jangankan terhadap yang haram, yang mubah saja akan kita tinggalkan. Makanan, minuman, istri itu kan boleh. Akan tetapi di bulan Ramadhan pada siang harinya semua bisa kita tahan. Kalau yang halal saja bisa kita tahan, apalagi yang haram? Oleh karena itu jangan dalam berpuasa malah terbalik, yaitu yang mubah ditinggalkan tetapi yang haram dilakukan. Makanan, minuman ditinggalkan, ghibah dilakukan, korupsi jalan terus, dengan alasan untuk persiapan lebaran. Inilah kepekaan-kepekaan ruhani yang benar-beanr mengalir dalam setiap diri kita ketika kita berpuasa sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt. Dan jangan sampai ada di antara kita yang menganggap bahwa puasa itu berat. Bahkan Rasulullah Saw. dan para shahabat serta para tabi’in, banyak yang menggunakan Ramadhan untuk berjihad di jalan Allah Swt. Perang B adar, Perang Fathu Makkah, Perang ‘Iinu Jaalut yang terjadi pada abad ke-7 Hijriyah, dimana tentara-tentara Islam di bawah pimpinan mamaalik (jama’ dari mamluk) bisa mengalahkan tentara-tentara salib, terjadi di bulan Ramadhan. Saking hebatnya kemenangan yang dicapai umat Islam pada bulan Ramadhan, Allah Swt. mengabadikannya dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat pada QS Al-Anfal, dimana perang Badar dikatakan sebagai yaumal furqoon, sebagaimana yang terdapat pada firmanNya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) dihari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu” (QS Al-Anfal: 41). Pasukan kebenaran yang jumlahnya sedikit, tetapi dimenangkan oleh Allah Swt. dalam melawan kekuatan bathil yang mempunyai kekuatan besar dan jumlah tentara yang sangat banyak. Oleh karena itu Ramadhan yang akan kita lalui ini semoga mengantarkan kita pada kemenenagan, kemenangan melawan hawa nafsu, kemenangan bangsa ini dalam melawan krisis, kemenangan umat Islam dalam melawan perselisihan, percekcokan antara sesama umat Islam, kemenangan bangsa ini dalam menghadapi konspirasi dunia internasional yang dimotori oleh Yahudi, yang mereka tidak senang melihat Indonesia maju karena negara ini adalah negara Islam. oleh karena itu marilah kita jadikan Ramadhan ini kita jadikan momentum Islam untuk kembali kepada Allah sehingga mencapai kemenangan yang hakiki. Wallahu a’lam bishshawab.

» Baca Selengkapnya....

Lot of Visitors
Donate here:
$

About This Blog

  © Blogger template Noblarum by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP